Kamis, 19 September 2013

MAKALAH ANALISIS INTEGRASI PASAR BERAS INDONESIA


BAB I
PENDDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu faktor penting dalam hak asasi manusia untuk hidup dengan layak adalah kemempuan utnuk memenuhi kebuthuan pangan. Oeleh karena itu hal yang diharapkan terhadap suatu pemerintahan adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup dengan harga murah (Amang dan Sawit, 1999). Sehubungan dengan hal di atas, maka sudah menjadi tugas pemerintah untuk menerapkan kebijakan guna menyediakan pangan yang cukup dengan harga murah dan dapat dijangkau oleh masyarakat.
      Jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar yaitu sekitar 210 juta dengan laju pertumbuhan sekitar 1,6 persen per tahun merupakan masalah yang sangat penting dalam penyediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Deptan, 2001). Hal tersebut menjadikan alas an bagi pemerintah untuk menematkan pembangunan pangan sebagai komponen utama dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat.
      Bahan pangan yang masih tetap mendapat prioritas utama untuk memenuhi kebutuhan konsumsi adalah padi (beras). Padi (beras) merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oeleh sebagian besar penduduk Indonesia dan merupakan suatu tuntutan yang harus dapat dipenuhi. Berdasarkan angka sementara tahun 2002, kemampuan produksi secara nasional untuk padi adalah 50,838 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 29,417 juta ton beras. Secara nasional kebutuhan utnuk konsimsi dan industry adalah sebesar 30,183 juta ton beras. Keadaan ini menunjukkan bahwa produksi beras nasional masih belum dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri (Deptan dan BPS, 2001).
      Beras menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan kebijakan pangan di Indonesia karena:  (1) usahatani padi menyediakan kesempatan kerja bagi 21 juta keluarga petani, (2) merupakan bahan pangan pokok bagi sekitar 95 persen penduduk Indonesia, dan (3) sekitar 30 persen dai total pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untiuk membeli beras. Peran strategis tersebut menyebabkan gejolak harga akan berdampak pada pendapatan usahatani, kesejahteraan petani, dan jumlah keluarga miskin (Deptan, 2002).
      Beras juga memiliki peran yang strategis dalam memantpkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan politik nasional. Pengalaman tahun 1966 dan 1998 menunjukkan bahwa goncangan politik berubah menjadi krisis politik yang hebat karena harga pangan melonjak tinggi dalam waktu singkat. Hal tersebut dikarenakan setiap instrument kebijakan yang berhubungan dengan beras akan menyangkut pula dengan nasib lebih dari 95 persen penduduk Indonesia yang menggantungkan kebutuhan energy dan protein kepada beras.
      Sebagai komoditas strategis, pergerakan harga perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Fluktuasi harga yang terlalu tinggi, di satu sisi dapat memberatkan daya beli masyarakat, sementara di sisi yang lain dapat merugikan petani. Bersasarkan alas an di atas maka pemerintah berusha mengendalikan gejolak harga melalui kebijakan harga (price policy) yang sudah dilakukan sejak tahun 1969/1970 (Amang dan Sawit, 2001). Kebijakan stabilasasi harga ini dilakukan antara lain dengan menerapkan Harga Dasar Gabah (HDG) yang kemudian diganti menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) pada tahun 2002.
      Kebijakan harga ini diupayakan untuk menstabilkan harga, pada tingkat harga yang terjangkau dengan day beli masyarakat, memberikan keuntungan yang wajar bagi petani untuk tetap memproduksi beras, serta memberikan keuntungan bagi pihak swasta untuk melakukan tindakan pemasaran beras. Sasaran dari kebijakan ini adalah pertama, melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar, yang biasanya terjadi pada saat musim panen. Kedua, melindungi konsumen dai kenaikan harga yang melebihi daya beli, khususnya pada musim kemarau.
      Sepanjang tahun 1985-1997, kebijakan stabilitas harga yang dilakukan oleh pemerintah dapat diniliai baik, karena fluktuasi harga sepanjang periode tersebut lebih rendah disbanding fluktuasi harga dunia, yaitu koefisien variasinya sekitar 5,54 persen di pasar domestic dan 8,63 persen di pasar internasional (Saifullah, 2001). Koefisien variasi adalah harga rata-rata. Semakin tinggi nilai koefisien variasinya, menunjukkan bahwa flutuasi harga yang terjadi semakin besar. Suatu keputusan stragis dapat dinilai efektif jika tujuan yang ingin dicapai melalui pelaksanaan kebijakan tersebut tercapai. Dengan dasar di atas, menurut Rosner dan Bahri (2002), pelaksanaan kebijakan harga dapat dinilai efektif, karena nilai koefisien variasi rata-rata per 48 bulan sebesar 12,0 persen, lebih kecil dari toleransi pemerintah sebesar 25 persen (PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahan Pangan). Namun pelaksanaan terdapat gejolak harga yang sangat tinggi.
B.     Tujuan  Dan Kegunaan Penelitian
·         Penelitian ini secara umum bertujuan untuk:
1.      Menganalisis perkembangan dan tingkat fluktuasi harga ekspor dan impor komoditas beras antar provinsi di Indonesia
2.      Mengetahui integrasi pasar beras Indonesia dengan pasar antar provinsi di Indonesia
3.      Mengetahui provinsi mana saja yang menjadi pasar acuan pembentukan harga
4.      Mengetahui hubungan harga beras antar provinsi dengan provinsi lain yang di tetapkan sebagai pasar acuan.
5.      Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perberasan Indonesia seperti produksi, impor, permintaan dan harga beras.
·         Adapun Kegunaan Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai referensi untuk memperbaiki perberasan Indonesia.
2.      Sebagai referensi untuk memperbaiki hubungan integrasi pasar beras antar provinsi di Indonesia.
3.      Sebagai referensi pembentukan harga beras
4.      Memberikan gambaran kondisi umum perberasan Indonesia
5.      Memberikan informasi pasar komuditi beras
6.      Memberikan gambaran tentang hubungan pasar beras antar provinsi



BAB II
METODE PENELITIAN
1.      Cakupan Kajian dan Daerah Penelitian
Penelitian ini mengkaji integrasi pasar spasial antar pasar regional dan integrasi vertical antara pasar produsen dan pasar konsumen dalam satu rantai pemasaran. Penelitian integrasi vertical dibatasi hanya pada pasar konsumen langsung dan pasar produsen di satu provinsi untuk mengetahui besarnya pengaruh perubahan harga pada pasar konsumen terhadap perubahan harga di tingkat produsen. Cakupan komoditas beras yang akan dianalisis adalah beras kualitas medium, karena paling banyak dikonsumsi dan diperdangangkan.
      Daerah yang dipilih untuk melakukan kajian integrasi pasar spasial adalah 15 provinsi utama, yaitu : Aceh , Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Provinsi tersebut dipilih karena kondisi pasar pada provinsi-provinsi tersebut mendapatkan perhatian utama oleh pemerintah, sebab nilai produksi, konsumsi, dan perdagangan beras pada provinsi-provinsi tersebut menentukan kondisi perberasan di Indonesia secara umum.
Cakupan penelitian utnuk melihat integrasi vertical adalah pasar produsen dan pasar konsumen, dengan melihat perkembanagn harga rata-rata di tingkat produsen dan harga rata-rata yang berlaku di tingkat konsumen yang terjadi di beberapa 14 provinsi di atas  kecuali DKI Jakarta. Kajian integrasi vertical dilakukan di masing-masing provinsi dengan asumsi bahwa kebutuhan masing-masing provinsi dipenuhi dari produksi daerah tersebut terlebih dahulu.
2.      Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu harga. Data sekunder ini diperoleh dari literature-literatur serta dari dinas dan instansi terkait seperti Depertemen Perdagangan dan Perindustrian, Departemen Pertanian, Biro Pusat Statistik (BPS)m dab Badab Yrysab Kigustuj (Bulog).
      Untuk pengujian integrasi spasial data yang digunakan adalah harga riil pada tingkat pedagang retell beberapa provinsi dari tahun 1994-2001. Sedangkan untuk kajian integrasi vertical digunakan data deret waktu harga bulanan pada pasar produsen dan harga bulanan pada pasar konsumen di beberapa provinsi di Indonesia dari tahun 1994-2001. Untuk analisis integrasi pasar domestic dengan pasar internasional digunakan harga beras Thi medium (25 %) di pelabuhan Indonesia yang dikonversikan ke dalam stuan rupiah. Data deret waktu harga riil dari tahun 1994-2001 digunakan untuk mengurangi pengaruh inflasi yang terjadi.
3.      Metode Analisis
Salah satu analisa yang digunakan untuk mengukur tingkat keterpaduan pasar adalah indeks keterpaduan pasar atau IMC (Index of Market Connection). Model ini deperkenalkan oleh Ravallion (1986 dan Heytens (1986), dengan menggunakan pendekatan pengukuran integrasi harga. Model keterpaduan pasar ini digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar local dipengaruhi oleh harga di pasar axuan dengan mempertimbangkan harga pada waktu yang lalu dengan harga pada saat ini.
      Model integrasi ini dapat menguji dua aspek dari integrasi pasar. Aspek pertama adalah aspek integrasi jangka panjang antara pasar lokal dan pasar acuan. Aspek kedua adalah aspek perubahan jangka pendek, yaitu bagaimana perubahan harga jangka pendek dari marjin yang terjadi di antara pasar lokal dan pasar acuan.
Sebagai tambahan, perubahan harga pasar lokal ini dapat disebabkan oleh adanya perubahan marjin pada pasar lokal dan pasar acuan pada waktu yang sebelumnya (lagtime).
Model statistic yang mempu menjelaskan perubahan harga bulanan pada pasar lokal sebagai fungsi dari beberapa variable bebas adalah sebagai berikut:


Secara mumu persamaan di atas menunjukkan bagaimana harga di suatu pasar mempengaruhi harga di pasar lain ( pasar lokal), dengan memperhitungkan pengaruh harga yang lalu dengan harga pada saat ini. Penetapan harga masa lalu dalam rentang ini bertujuan untuk melihat fluktuasi harga.
Bila harga pasar acuan sama setiap bulannya (Rt – Rt-1 = 0), maka pasar acuan berada dalam keseimbangan jangka pendek, yang berarti koefisien d2 harus dikeluarkan dari persamaan di atas. Koefisien yang menghubungkan dua bentuk harga, yaitu (1 = d1) dan (d3 - d1), menjelaskan konstribusi relative harga di pasar acuan terhadap harga di pasar lokal pada saat yang diinginkan.
 Kedua bentuk harga yang diperoleh ini, dapat digunakan untuk mengetahui indeks keterpaduan pasar (IMC). IMC merupakan rasio dari kedua bentuk harga tersebut, yaitu harga lokal akibat bentuk harga pada pasar acuan masa lau (teme-lag).
Rasio kedua koefisien tersebut dinyatakan sebagai:

Jika IMC < 1, maka dapat disimpulkan bahwa derajat integrasi pasar jangka pendek antara harga di tingkat pasar lokal dengan harga di tingkat pasar acuan relative tinggi. Bila IMC mendekati nol atau d1 semakin mendekati nilai -1 maka harga di tingkat pasar acuan pada waktu t-1 tidak berpengaruh pada pasar lokal pada waktu t. jika IMC > 1 maka dapat disimpulkan bahwa pasar lokal tidak terintegrasi atau kurang terintegrasi dengan pasar acuan. Secara singkat, keseimbangan jangka pendek dicapai jika nilai IMC < 1. Apabila koefisien d2  semakin mendekati 1, maka derajat asosiasinya semakin tinggi, artinya, integrasi pasar semakin tinggi dalam jangka panjang.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Analisis Integrasi Pasar Spasial
Hasil analisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Square, menghasilkan 210 persamaan integrasi pasar antar pasar retell pada 15 provinsi yang diuji dalam studi ini, dengan setiap provinsi berperan sebagai pasar acuan dan pasar lokal. Hal ini didasari dari teori yang dijelaskan oleh Timmer (1987) bahwa tingkat integrasi antara dua pasar dapat memiliki nilai yang berbeda jika integrasi pasar diuji dua arah. Masing-masing pasar provinsi diuji terhadap provinsi lainnya dengan menghubungkan harga di pasar lokal dengan harga di pasar acuan, dengan melihat hubungannya secara parsial. Meskipun pengujian dilakukan dengan membandingkan 14 provinsi lainnya sebagai pasar acuan, harga di pasar lokal dianggap hanya dipengaruhi oleh harga pada masing-masing pasar acuan secara mandiri tidak sebagai system yang terpadu. Hal ini dilakukan untuk memudahkan analisa dan untuk mengetahui besarnya pengaruh pembentukan harga di satu pasar acuan terhadap pasar lokal.
      Berdasarkan uji parsial terhadap nilai thit dengan taraf uji, 0,01 diperoleh koefisien regresi B1 (Pt-1 = harga di pasar lokal pada waktu t-1) seluruhnya berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap variable dependen (Pt = harga di pasar lokal pada waktu t) yang berarti harga beras di tingkat ritel di provinsi lokal pada waktu yang lalu (t-1) berpengaruh nyata terhadap pembentukan harga beras pada saat  ini (t) di pasar tersebut. Begitu pula untuk nilai thit koefisien regresi B2  (Rt- Rt-1 = perubahan harga yang terjadi di pasar acuan), hanya terdapat 14 dari 210 persamaan yang diuji yang tidak berpengaruh nyata terhadap variable dependen pada taraf 0,05. Berarti perubahan harga yang terjadi di pasar acuan mempengaruhi dalam pembentukan harga di pasar lokal pada saat ini (Pt), kecuali untuk pasar lokal Jakarta dan pasar lokal Sumatera Selatan akibat pasar acuan Yogyakarta. Untuk nilai thit koefisien regresi B3 (Rt-1 = harga di pasar acuan ke-j pada waktu t-1) terdapat 33 dari 210 hubungan pengujian yang tidak berpengaruh nyata terhadap variable dependen pada taraf 0,05. Secara umum dapat dikatakan bahwa harga di pasar acuan pada waktu sebelumnya (Rt-1) mempengaruhi pembentukan harga di pasar lokal pada saat ini (Pt).
        Hasil uji simultan yang dilakukan terhadap Fhitung menunjukkan bahwa nilai Fhitung yang diperoleh pada seluruh model persamaan integrasi pasar nyata pada taraf 0,01, yang berarti semua variable independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variable dependen. Berdasarkan hasil perhitungan Dsurbin-h terhadap seluruh model persamaan menunjukkan bahwa nilai Durbin-h yang diperoleh lebih kecil dari tTabel pada taraf uji 0,01. Artinya, dalam model tidak terdapat autokorelasi sehingga peramalan yang dilakukan efisien. Nilai Durbin-h pada beberapa model integrasi pasar tidak dapat didefinisikan karena nilai              Oleh karena itu harus uji autokorelasi dilakukan dengan melihat nilai      dari persamaan  (7). Nilai     yang     0 pada semua provinsi yang diuji menunjukkan bahwa tidak terdapat autokorelasi dalam model.
      Untuk melakukan analisis jangka pendek integrasi pasar digunakan nilai Indeks Keterpaduan Pasar (IMC, Index of Market Connection). Nilai IMC tidak menunjukkan besaran pengaruh harga di pasar acuan pada waktu sebelumnya terhadap pembentukan harga di pasar lokal, melainkan hanya sekedar menunjukkan derajat integrasi antar dua pasar. Pasar lokal dikatakan terintegrasi dalam jangka pendek jika nilai IMC-nya < 1. Jika nilai IMC-nya lebih besar dari 1 maka pasar dapat dikategorikan terintegrasi secara lemah dalam jangka pendek. Sedangkan jika nilai IMC-nya < 0 maka pasar terisolasi dari pasar acuan, artinya harga di pasar acuan tidak memiliki pengaruh dalam pembentukan harga di pasar lokal.
      Untuk melihat besaran pengaruh harga pasar acuan pada waktu sebelumnya (Rt-1) terhadap pasar lokal (Pt), dilihat melalui nilai koefisien    .
Nilai Koefisien           menunjukkan besarnya persentase perubahan harga di pasar lokal akibat perubahan harga di pasar acuan pada waktu sebelumnya.  Artinya jika harga bulan lalu di pasar acuan berubah sebesar I persen maka harga di pasar lokal pada saat sekarang akan berubah sebesar      persen.
      Integrasi pasar jangka panjang dapat dilihat dari besarnya nilai koefisien     dari persamaan regresi model integrasi pasar. Nilai koefisien     menunjukkan elastisitas trasnsmisi, yaitu besarnya persentase perubahan harga di pasar lokal akibat perubahan harga di pasar acuan. Jika harga di pasar acuan berubah sebesar 1 persen maka harga di pasar lokal akan berubah sebesar     persen. Suatu pasar dikatakan terintegrasi dalam jangka panjang dengan pasar acuan jika nilai koefisien     -nya mendekati nilai 1. Sedangkan jika nilai koefisien      < 0, maka pasar dikatanakn terisolasi atau harga di paar lokal bergerak secara mandiri (independent).

1.1.NTB
Koefisien     dan     pada semua pengujian integrasi pasar NTB dengan provinsi lainnya berpengaruh nyata pada yang ditunjukkan dari nilai thitung yang lebih besar dari  ttabel  pada taraf nyata 0,01. Terdapat 3 uji parsial terhadap koefisien yang tidak berpengaruh nyata pada a= 0,05, yaitu pada pengujian integrasi pasar dengan Sumatera Selatan, Lampung, dan Kalimantan Selatan. Hal ini berarti harga pada paeriode sebelumnya di provinsi-provinsi tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan harga NTB.
   Nilai Fhitung yang lebih besar dari nilai FTabel  pada menunjukkan variable dependen secara simultan berpengaruh terhadap variable independen. Hasil uji autokorelasi terhadap D-h yang lebih kecil dari ttabel, dan nilai menunjukkan bahwa tidak terdapat autokorelasi dalam model, sehingga model dapat digunakan untuk analisis selanjutnya.
1.2.1.   Integrasi Pasar Jangka Pendek
            Nilai IMC pada pengujian integrasi pasar NTB dengan pasar lainnya memperlihatkan NTB terintegrasi dalam jangka pendek dengan pasar lainnya dan tidak terintegrasi dengan Sumatera Selatan, Lampung dan Kalimantan Selatan. Derajat integrasi paling baik terdapat pada hubungan NTB dengan Jawa Timur dengan nilai IMC 1,01. Sebagai provinsi self-sufficient, provinsi NTB masih mendatangkan beras dai Jawa Timur untuk mengisi cadangan berasnya. Hubungan perdangan ini menyebabkan kondisi pasar NTB akan secara langsung dipengaruhi oleh kondisi di Jawa Timur melalui perubahan arus baran dan perdangan.
      Pasar NTB tidak terintegrasi dalam jangka pendek dengan provinsi Sumatera Selatan, Lampung dan Kalimantan Selatan karena NTB tidak melakukan perdagangan dengan provinsi-provinsi tersebut. Kondisi ini dapat terjadi karena provinsi –provinsi tersebut terpisah dengan jarak yang relative jauh dengan NTB, sehingga perdanagan dengan provinsi-provinsi tersebut menjadi tidak menguntungkan.

Tabel 27. Hasil Pendugaaan Regresi Model Keterpaduan Pasar NTB dengan Pasar Provinsi Lainnya.
*Berpengaruh nyata pada taraf 5 persen
**Tidak perpengaruh nyata pada taraf 5 persen
            Provinsi yang tidak terintegrasi dengan NTB sebagai pasar acuan adalah Aceh, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan, karena pada pasar-pasar tersebut tidak terdapat hubungan perdagangan. Pasar yang memiliki derajat integrasi jangka pendek yang tertinggi adalah Jawa Timur. Hal ini terjadi karena NTB terutama memasok beras dari Jawa Timur. Kondisi pasar di NTB akan menentukan arus barang dari Jawa Timur ke NTB, sehingga harganya dipengaruhi oleh kondisi pasar NTB.
1.2.2    Integrasi Pasar Jangka Panjang
            Nilai koefisien     yang disajikan pada Tabel 27 memperlihatkan bahwa pasar beras NTB terintegrasi dengan semua provinsi yang diuji. Perubahan harga yang mempengaruhi harga di NTB adalah perubahan harga di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, dan Sulawesi Selatan, sehingga dapat dikatakan NTB terintegrasi kuat dengan pasar-pasar tersebut dalam jangka panjang.
            Meskipun relative self-sufficient, NTB masih mendatangkan beras terutama dari Jawa Timur untuk mengisi cadanagnnya. Hubungan perdagangan ini menyebabkan parubahan harga di Jawa Timur akan menentukan arus barang dan perdagangan yang terjadi antara keduanya. Perubahan arus barang ini menyebabkan perubahan harga di Jawa Timur akan menentukan kondisi supply  dan demand beras di NTB dan menyebabkan harga di NTB ikut berubah.
            Pasar NTB terintegrasi kuat dengan Jakarga dan Sumatera Utara meskipun tidak terdapat perdagangan, hal ini terjadi kedua provinsi tersebut bertindak sebagai acuan dalam pembentukan harga di provinsi-provinsi lainnya. Pasar NTB terintegrasi dengan pasar lainnya, meskipun tidak terhubung perdaganan menunjukkan bahwa integrasi yang terjadi dengan pasar-pasar tersebut merupakan integrasi yang diinginkan (planned) akibat reaksi pelaku perdagangan terhadap informasi pasar lainnya. Derajat integrasi ini menunjukkan bahwa pelaku perdagangan di NTB dapat mengakses infomasi mengenai pasar lainnya dengan mudah. Aksesibilitas infomasi yang baik menyebabkan pelaku perdagangan mengetahui kondisi pasar lain dan menyesuaikan harganya terhadap perubahan yang terjadi di pasar lainnya.
Tabel 28. Hasil Pendugaan Regresi Model Keterpaduan Pasar NTB terhadap Pasar Provinsi Lainnya.
      *berpengaruh nyata pada taraf 5 persen
      **tidak berpengaruh nyata pada taraf 5 persen
            Integrasi pasar juga dapat menunjukkan bahwa pasar beras NTB merupakan pasar yang bersaing. Hal ini ditunjukkan dari integrasi pasar NTB dengan seluruh provinsi yang diuji dalam jangka panjan. Pada pasar yang bersaing, di mana pelaku pasar merupakan penerima harga, harga akan menjadi informasi manfaat (benefit sign) bagi pelaku pasar. Kondisi ini menyebabkan perubahan harga di pasar lainnya akan mempengaruhi perilaku pasar, sehingga pasar akan terintegrasi dengan pasar lainnya.
            Sebagai pasar acuan, kecuali Jakarta, perubahan harga di NTB berpengaruh terhadap perubahan harga di provinsi lain yang diuji. Pasar yang terintegrasi kuat dengn NTB adalah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Perubahan harga di NTB berpengaruh kepada perubahan harga di Jawa Timur dan NTB karena kedua pasar tersebut terhubung perdagangan, sehingga perubahan harga di NTB akan berpengaruh di pasar-pasar tersebut. Pasar yang tidak terintegrasi denga NTB adalah pasar Jakarta, karena Jakarta berperan sebagai pasar acuan, sehingga perubahan harga di NTB tidak berpengaruh terhadap perubahan harga di Jakarta.

2.      Integrasi Pasar Vertikal
Nilai thitung menunjukkan bahwa koefisien berpengaruh nyata pada sumua pengujian analisis integrasi pasar produsen dengan konsumen, kecuali di Jawa Timur nyata pada a= 0,05. Hasil uji thitung  terhadap koefisien menunjukkan terdapat 4 pengujian yang tidak berpengaruh nyata pada Nilai Fhitung yang lebih besar dari  Ftabel menunjukkan di semua provinsi yang diuji, secara simultan variabel dependen berpengaruh terdapat variabel independen pada
      Hasil uji parsial pada model pendugaan integrasi pasar consumen dengan pasar produsen menunjukkan bahawa koefisien berpengaruh nyata pada kecuali nilai koefisien B3 di provinsi Jawa Timur nyata pada a= 0,05. Hasil uji terhadap nilai thitung pada koefisien menunjukkan terdapat 3 pengujian yang tidak berpengaruh nyata pada Secara simultan variabel dependen berpengaruh terhadap variabel independen, yang ditunjukkan dari nilai Fhitung yang lebih besar dari Fhitung pada Hasil uji autokorelasi terhadap nilai D-h yang lebih kecil dari ttable (t(93, 0,01) = 2,326) menunjukkan bahwa tidak terdapat autokorelasi baik pengujian integrasi pasar produsen dengan konsumen, maupun model integrasi pasar konsumen dengan produsen.
2.1 Integrasi Pasar Jangka Pendek
      Hasil pendugaan keterpaduan pasar yang disajikan pada Tabel 35, memperlihatkan bahwa pasar produsen secara umum terintegrasi lemah dengan pasar konsumen dalam jangka pendek, kecuali di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Artinya pada pasar-pasar tersebut harga di pasar konsumen tidak berpengaruh terhadap pembentukan harga di tingkat produsen. Menurun Farianti (2000) kondisi ini mencerminkan bahwa harga di tingkat produsen lebih ditentukan oleh faktor lokal pada pasar produsen.
      Selanjutnya pas pendugaan keterpaduan pasar konsumen dengan pasar produsen terdapat 4 provinsi yang pasarnya tidak terintegrasi dalam jangka pendek dengan pasar produsen, yaitu : Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa harga yang terbentuk di tingkat konsumen di provinsi-provinsi tersebut tidak dipengaruhi oleh harga di tingkat produsen pada periode sebelumnya. Kondisi ini dapat terjadi karena kemampuan panguasaan pasar yang dapat menentukan harga, atau kemampuan pemasaran terutama penyimpanan (storage ability). Kemampuan penyimpanan menyebabkan pelaku pasar di tingkat ritel dapat membeli beras pada harga rendah dan menyimpannya untuk dijual pada waktu selanjutnya, sehingga harga di pasar ritel tidak terpengaruh dengan harga di tingkat produsen.
2.2 Integrasi Pasar Jangka Panjang
      Nilai koefisien pada Tabel 35 memperlihatkan pasar produsen terintegrasi lemah dengan pasar konsumen di semua provinsi yang diuji, kecuali di Jawa Timur. Integrasi pasar produsen dan konsumen yang tinggi terdapat di provinsi NTB, dengan nilai sebesar 0,85. Artinya jika harga di tingkat ritel meningkat sebesar 1 persen akan menyebabkan harga di tingkat produsen di provinsi NTB akan turut meningkat sebesar 0,85 persen.
Tabel 35. Hasil Pendugaan Regresi Model Keterpaduan Pasar Produsen dengan Pasar Konsumen
*berpengaruh nyata pada taraf 5 persen
**tidak berpengaruh nyata pada taraf 5 persen
      Pasar produsen di provinsi Jawa Timur tidak terintegrasi dengan pasar konsumen dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga di tingkat konsumen tidak berpengaruh terhadap harga di tingkat produsen. Kondisi ini diduga terjadi akibat kemampuan penguasaan pasar di tingkat ritel atau kemampuan pemasaran di tingkat ritel yang dapat menentukan harga di tingkat petani. Menurut Farianti, dkk, (2000) keterpisahan pasar produsen dan konsumen dapat terjadi karena akses informasi yang buruk ataupun kekuatan tawar petani yang lemah, shingga harga di tingkat produsen tidak terpengaruh dengan harga di tingkat konsumen.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1.      Kesimpulan
·         Secara umum dapat dikatakan bahwa pasar tingkat provinsi di Indonesia saling terintegrasi dengan provinsi-provinsi lainnya, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa semua provinsi di Indonesia terhubung ke dalam satu system perdagangan yang terpadu, sehingga kondisi keseimbang di suatu pasar akan saling mempengaruhi keseimbangan di pasar lainny. Integrasi yang bai dapat dijadikan indicator bahwa kenerja pemasaran komuditi beras domestic secara keseluruhan bekerja secara efisien.
·         Pasar Jakarta terintegrasi dalam jangka pendek dengan paar-pasar yang diuji, kecuali dengan sumatera selatan. Sebai pasar acuan, semua pasar yang diuji terintegrasi dengan Jakarta dalam jangka pendek. Pasar Jakarta tidak terintegrasi dengan smua provinsi lainnya yang diuji dalam jangka panjang. Pasar yang terintegrasi baik dengan Jakarta dalam jangka panjang adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jwa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan dengan nilai elastisitas transmisi masing-masing sebesar 0,71; 0,88; 0,83; 0,72; 0,75; 0,80; dan 0,79.
·         Dari hasil analisa terhadap hubungan integrasi pasar dengan hubungan perdanagan dan arus barang menunjukkan bahwa integrasi pasar antara dua pasar dapat tterjadi meskipun keduanya tidak terhubung perdangan secara langsung. Hal ini mendukung penelitian Ismet dan Llellyn (2001), yang menyatakan bahwa dua pasar dapt terintegrasi karena faktor lain bukan perdagangan, mislnya arus informasi yang baik atau dapat pula terjadi karena kedua pasar tersebut terhubung dalam satu system perdagangan yang sama.
2.      Saran
·         Sebagai provinsi yang dijadikan acuan terhadap pembentukan harga di pasar-pasar lainny, perubahan harga di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Utara akan ditrasformasikan secara selaras pada provinsi-provinsi lainny. Oleh kerena itu pemerintah perlu menjaga stabilitas harga di provinsi-provinsi tersebut. Apabila terjadi gejolak harga beras di provinsi-provinsi tersebut tidak meluas menjadi gejolak harga dalam skala lebih luas.
·         Dengan mengetahui integrasi pasar, arah, dan besaran trasnmisi harga, pemerintah dapat meredakan gejolak harga dengan melakukan aksi secara inteensi pada pasar yang menjadi acuan pasar-pasar lainny, tanpa harus melakukan aksi di setiap pasar yang bergejolak.



DAFTAR PUSTAKA

AMANG, Beddu dan M. Husein Sawit. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran Orde Baru dan Orde Reformasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Azir, Ricky. 2002. Kajian Sistem Pemasaran dan Integrasi Pasar Cabai Merah Keriting di DKI Jakarta [skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian. Bogor.
Barret, Christoper B. dan Jau Rong Li. 2002. Distinguishing Between Equilibrium and Integration in Spatial Analysis. Di dalam Berck, Peter dkk., editor. American Journal of Agricultural Economics Vol.84 No.2.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2001. Produksi Padi, Konsumsi, Impor, dan Ekspor Beras Indonesia. BPS. Jakarta.
Dan lain-lain…..

1 komentar: