BAB I
PENDDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu
faktor penting dalam hak asasi manusia untuk hidup dengan layak adalah
kemempuan utnuk memenuhi kebuthuan pangan. Oeleh karena itu hal yang diharapkan
terhadap suatu pemerintahan adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup
dengan harga murah (Amang dan Sawit, 1999). Sehubungan dengan hal di atas, maka
sudah menjadi tugas pemerintah untuk menerapkan kebijakan guna menyediakan
pangan yang cukup dengan harga murah dan dapat dijangkau oleh masyarakat.
Jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar
yaitu sekitar 210 juta dengan laju pertumbuhan sekitar 1,6 persen per tahun
merupakan masalah yang sangat penting dalam penyediaan pangan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat (Deptan, 2001). Hal tersebut menjadikan alas an bagi
pemerintah untuk menematkan pembangunan pangan sebagai komponen utama dalam
pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Bahan pangan yang masih tetap mendapat
prioritas utama untuk memenuhi kebutuhan konsumsi adalah padi (beras). Padi
(beras) merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oeleh sebagian besar
penduduk Indonesia dan merupakan suatu tuntutan yang harus dapat dipenuhi.
Berdasarkan angka sementara tahun 2002, kemampuan produksi secara nasional
untuk padi adalah 50,838 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan
29,417 juta ton beras. Secara nasional kebutuhan utnuk konsimsi dan industry
adalah sebesar 30,183 juta ton beras. Keadaan ini menunjukkan bahwa produksi
beras nasional masih belum dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri (Deptan dan
BPS, 2001).
Beras menjadi prioritas utama dalam
pelaksanaan kebijakan pangan di Indonesia karena: (1) usahatani padi menyediakan kesempatan
kerja bagi 21 juta keluarga petani, (2) merupakan bahan pangan pokok bagi
sekitar 95 persen penduduk Indonesia, dan (3) sekitar 30 persen dai total
pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untiuk membeli beras. Peran
strategis tersebut menyebabkan gejolak harga akan berdampak pada pendapatan
usahatani, kesejahteraan petani, dan jumlah keluarga miskin (Deptan, 2002).
Beras juga memiliki peran yang strategis
dalam memantpkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan politik
nasional. Pengalaman tahun 1966 dan 1998 menunjukkan bahwa goncangan politik
berubah menjadi krisis politik yang hebat karena harga pangan melonjak tinggi
dalam waktu singkat. Hal tersebut dikarenakan setiap instrument kebijakan yang
berhubungan dengan beras akan menyangkut pula dengan nasib lebih dari 95 persen
penduduk Indonesia yang menggantungkan kebutuhan energy dan protein kepada
beras.
Sebagai komoditas strategis, pergerakan
harga perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Fluktuasi harga yang terlalu
tinggi, di satu sisi dapat memberatkan daya beli masyarakat, sementara di sisi
yang lain dapat merugikan petani. Bersasarkan alas an di atas maka pemerintah
berusha mengendalikan gejolak harga melalui kebijakan harga (price policy) yang sudah dilakukan
sejak tahun 1969/1970 (Amang dan Sawit, 2001). Kebijakan stabilasasi harga ini
dilakukan antara lain dengan menerapkan Harga Dasar Gabah (HDG) yang kemudian
diganti menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) pada tahun 2002.
Kebijakan harga ini diupayakan untuk
menstabilkan harga, pada tingkat harga yang terjangkau dengan day beli
masyarakat, memberikan keuntungan yang wajar bagi petani untuk tetap
memproduksi beras, serta memberikan keuntungan bagi pihak swasta untuk
melakukan tindakan pemasaran beras. Sasaran dari kebijakan ini adalah pertama,
melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar, yang biasanya terjadi pada
saat musim panen. Kedua, melindungi konsumen dai kenaikan harga yang melebihi
daya beli, khususnya pada musim kemarau.
Sepanjang tahun 1985-1997, kebijakan
stabilitas harga yang dilakukan oleh pemerintah dapat diniliai baik, karena
fluktuasi harga sepanjang periode tersebut lebih rendah disbanding fluktuasi
harga dunia, yaitu koefisien variasinya sekitar 5,54 persen di pasar domestic
dan 8,63 persen di pasar internasional (Saifullah, 2001). Koefisien variasi
adalah harga rata-rata. Semakin tinggi nilai koefisien variasinya, menunjukkan
bahwa flutuasi harga yang terjadi semakin besar. Suatu keputusan stragis dapat
dinilai efektif jika tujuan yang ingin dicapai melalui pelaksanaan kebijakan
tersebut tercapai. Dengan dasar di atas, menurut Rosner dan Bahri (2002),
pelaksanaan kebijakan harga dapat dinilai efektif, karena nilai koefisien
variasi rata-rata per 48 bulan sebesar 12,0 persen, lebih kecil dari toleransi
pemerintah sebesar 25 persen (PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahan Pangan).
Namun pelaksanaan terdapat gejolak harga yang sangat tinggi.
B.
Tujuan Dan
Kegunaan Penelitian
·
Penelitian ini
secara umum bertujuan untuk:
1. Menganalisis perkembangan dan tingkat fluktuasi harga
ekspor dan impor komoditas beras antar provinsi di Indonesia
2.
Mengetahui
integrasi pasar beras Indonesia dengan pasar antar provinsi di Indonesia
3.
Mengetahui provinsi
mana saja yang menjadi pasar acuan pembentukan harga
4.
Mengetahui hubungan
harga beras antar provinsi dengan provinsi lain yang di tetapkan sebagai pasar
acuan.
5.
Mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi perberasan Indonesia seperti produksi, impor,
permintaan dan harga beras.
·
Adapun Kegunaan
Penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai referensi untuk memperbaiki perberasan Indonesia.
2. Sebagai referensi untuk memperbaiki hubungan integrasi
pasar beras antar provinsi di Indonesia.
3. Sebagai referensi pembentukan harga beras
4. Memberikan gambaran kondisi umum perberasan Indonesia
5. Memberikan informasi pasar komuditi beras
6. Memberikan gambaran tentang hubungan pasar beras antar
provinsi
BAB II
METODE PENELITIAN
1.
Cakupan Kajian dan Daerah Penelitian
Penelitian ini
mengkaji integrasi pasar spasial antar pasar regional dan integrasi vertical
antara pasar produsen dan pasar konsumen dalam satu rantai pemasaran.
Penelitian integrasi vertical dibatasi hanya pada pasar konsumen langsung dan
pasar produsen di satu provinsi untuk mengetahui besarnya pengaruh perubahan
harga pada pasar konsumen terhadap perubahan harga di tingkat produsen. Cakupan
komoditas beras yang akan dianalisis adalah beras kualitas medium, karena
paling banyak dikonsumsi dan diperdangangkan.
Daerah yang dipilih untuk melakukan kajian
integrasi pasar spasial adalah 15 provinsi utama, yaitu : Aceh , Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jakarta, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan
Sulawesi Selatan. Provinsi tersebut dipilih karena kondisi pasar pada
provinsi-provinsi tersebut mendapatkan perhatian utama oleh pemerintah, sebab
nilai produksi, konsumsi, dan perdagangan beras pada provinsi-provinsi tersebut
menentukan kondisi perberasan di Indonesia secara umum.
Cakupan
penelitian utnuk melihat integrasi vertical adalah pasar produsen dan pasar
konsumen, dengan melihat perkembanagn harga rata-rata di tingkat produsen dan
harga rata-rata yang berlaku di tingkat konsumen yang terjadi di beberapa 14
provinsi di atas kecuali DKI Jakarta.
Kajian integrasi vertical dilakukan di masing-masing provinsi dengan asumsi
bahwa kebutuhan masing-masing provinsi dipenuhi dari produksi daerah tersebut
terlebih dahulu.
2.
Pengumpulan Data
Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu harga.
Data sekunder ini diperoleh dari literature-literatur serta dari dinas dan
instansi terkait seperti Depertemen Perdagangan dan Perindustrian, Departemen
Pertanian, Biro Pusat Statistik (BPS)m dab Badab Yrysab Kigustuj (Bulog).
Untuk pengujian integrasi spasial data
yang digunakan adalah harga riil pada tingkat pedagang retell beberapa provinsi
dari tahun 1994-2001. Sedangkan untuk kajian integrasi vertical digunakan data
deret waktu harga bulanan pada pasar produsen dan harga bulanan pada pasar
konsumen di beberapa provinsi di Indonesia dari tahun 1994-2001. Untuk analisis
integrasi pasar domestic dengan pasar internasional digunakan harga beras Thi
medium (25 %) di pelabuhan Indonesia yang dikonversikan ke dalam stuan rupiah.
Data deret waktu harga riil dari tahun 1994-2001 digunakan untuk mengurangi
pengaruh inflasi yang terjadi.
3.
Metode Analisis
Salah
satu analisa yang digunakan untuk mengukur tingkat keterpaduan pasar adalah
indeks keterpaduan pasar atau IMC (Index
of Market Connection). Model ini deperkenalkan oleh Ravallion (1986 dan
Heytens (1986), dengan menggunakan pendekatan pengukuran integrasi harga. Model
keterpaduan pasar ini digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar local
dipengaruhi oleh harga di pasar axuan dengan mempertimbangkan harga pada waktu
yang lalu dengan harga pada saat ini.
Model integrasi ini dapat menguji dua
aspek dari integrasi pasar. Aspek pertama adalah aspek integrasi jangka panjang
antara pasar lokal dan pasar acuan. Aspek kedua adalah aspek perubahan jangka
pendek, yaitu bagaimana perubahan harga jangka pendek dari marjin yang terjadi
di antara pasar lokal dan pasar acuan.
Sebagai
tambahan, perubahan harga pasar lokal ini dapat disebabkan oleh adanya
perubahan marjin pada pasar lokal dan pasar acuan pada waktu yang sebelumnya (lagtime).
Model
statistic yang mempu menjelaskan perubahan harga bulanan pada pasar lokal
sebagai fungsi dari beberapa variable bebas adalah sebagai berikut:
Secara
mumu persamaan di atas menunjukkan bagaimana harga di suatu pasar mempengaruhi
harga di pasar lain ( pasar lokal), dengan memperhitungkan pengaruh harga yang
lalu dengan harga pada saat ini. Penetapan harga masa lalu dalam rentang ini
bertujuan untuk melihat fluktuasi harga.
Bila
harga pasar acuan sama setiap bulannya (Rt – Rt-1 = 0), maka pasar acuan berada dalam keseimbangan
jangka pendek, yang berarti koefisien d2
harus dikeluarkan dari persamaan di
atas. Koefisien yang menghubungkan dua bentuk harga, yaitu (1 = d1) dan (d3 - d1), menjelaskan
konstribusi relative harga di pasar acuan terhadap harga di pasar lokal pada
saat yang diinginkan.
Kedua bentuk harga yang diperoleh ini, dapat
digunakan untuk mengetahui indeks keterpaduan pasar (IMC). IMC merupakan rasio
dari kedua bentuk harga tersebut, yaitu harga lokal akibat bentuk harga pada
pasar acuan masa lau (teme-lag).
Rasio
kedua koefisien tersebut dinyatakan sebagai:
Jika
IMC < 1, maka dapat disimpulkan bahwa derajat integrasi pasar jangka pendek
antara harga di tingkat pasar lokal dengan harga di tingkat pasar acuan
relative tinggi. Bila IMC mendekati nol atau d1
semakin mendekati nilai -1 maka
harga di tingkat pasar acuan pada waktu t-1 tidak berpengaruh pada pasar lokal
pada waktu t. jika IMC > 1 maka dapat disimpulkan bahwa pasar lokal tidak
terintegrasi atau kurang terintegrasi dengan pasar acuan. Secara singkat,
keseimbangan jangka pendek dicapai jika nilai IMC < 1. Apabila koefisien d2 semakin mendekati 1, maka derajat asosiasinya
semakin tinggi, artinya, integrasi pasar semakin tinggi dalam jangka panjang.
BAB III
HASIL DAN
PEMBAHASAN
1.
Analisis Integrasi Pasar Spasial
Hasil
analisis dengan menggunakan metode Ordinary
Least Square, menghasilkan 210 persamaan integrasi pasar antar pasar retell
pada 15 provinsi yang diuji dalam studi ini, dengan setiap provinsi berperan
sebagai pasar acuan dan pasar lokal. Hal ini didasari dari teori yang
dijelaskan oleh Timmer (1987) bahwa tingkat integrasi antara dua pasar dapat
memiliki nilai yang berbeda jika integrasi pasar diuji dua arah. Masing-masing
pasar provinsi diuji terhadap provinsi lainnya dengan menghubungkan harga di
pasar lokal dengan harga di pasar acuan, dengan melihat hubungannya secara
parsial. Meskipun pengujian dilakukan dengan membandingkan 14 provinsi lainnya
sebagai pasar acuan, harga di pasar lokal dianggap hanya dipengaruhi oleh harga
pada masing-masing pasar acuan secara mandiri tidak sebagai system yang
terpadu. Hal ini dilakukan untuk memudahkan analisa dan untuk mengetahui
besarnya pengaruh pembentukan harga di satu pasar acuan terhadap pasar lokal.
Berdasarkan uji parsial terhadap nilai thit dengan taraf
uji, 0,01 diperoleh koefisien regresi B1 (Pt-1
= harga di pasar lokal pada waktu
t-1) seluruhnya berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap variable dependen (Pt = harga di pasar
lokal pada waktu t) yang berarti harga beras di tingkat ritel di provinsi lokal
pada waktu yang lalu (t-1) berpengaruh nyata terhadap pembentukan harga beras
pada saat ini (t) di pasar tersebut.
Begitu pula untuk nilai thit koefisien regresi B2
(Rt- Rt-1 = perubahan harga yang terjadi di pasar acuan),
hanya terdapat 14 dari 210 persamaan yang diuji yang tidak berpengaruh nyata
terhadap variable dependen pada taraf 0,05. Berarti perubahan harga yang
terjadi di pasar acuan mempengaruhi dalam pembentukan harga di pasar lokal pada
saat ini (Pt), kecuali untuk pasar lokal Jakarta dan pasar lokal
Sumatera Selatan akibat pasar acuan Yogyakarta. Untuk nilai thit koefisien
regresi B3 (Rt-1 = harga di pasar acuan ke-j pada waktu t-1) terdapat
33 dari 210 hubungan pengujian yang tidak berpengaruh nyata terhadap variable
dependen pada taraf 0,05. Secara umum dapat dikatakan bahwa harga di pasar
acuan pada waktu sebelumnya (Rt-1) mempengaruhi pembentukan harga di pasar lokal pada
saat ini (Pt).
Hasil
uji simultan yang dilakukan terhadap Fhitung
menunjukkan bahwa nilai Fhitung
yang diperoleh pada seluruh model persamaan integrasi pasar nyata pada taraf
0,01, yang berarti semua variable independen secara bersama-sama berpengaruh
terhadap variable dependen. Berdasarkan hasil perhitungan Dsurbin-h terhadap
seluruh model persamaan menunjukkan bahwa nilai Durbin-h yang diperoleh lebih kecil
dari tTabel pada taraf uji 0,01. Artinya, dalam model tidak
terdapat autokorelasi sehingga peramalan yang dilakukan efisien. Nilai Durbin-h
pada beberapa model integrasi pasar tidak dapat didefinisikan karena nilai Oleh karena itu harus uji autokorelasi
dilakukan dengan melihat nilai dari
persamaan (7). Nilai yang
0 pada semua provinsi yang diuji menunjukkan bahwa tidak terdapat
autokorelasi dalam model.
Untuk melakukan analisis jangka pendek
integrasi pasar digunakan nilai Indeks Keterpaduan Pasar (IMC, Index of Market Connection). Nilai IMC
tidak menunjukkan besaran pengaruh harga di pasar acuan pada waktu sebelumnya
terhadap pembentukan harga di pasar lokal, melainkan hanya sekedar menunjukkan
derajat integrasi antar dua pasar. Pasar lokal dikatakan terintegrasi dalam
jangka pendek jika nilai IMC-nya < 1. Jika nilai IMC-nya lebih besar dari 1
maka pasar dapat dikategorikan terintegrasi secara lemah dalam jangka pendek.
Sedangkan jika nilai IMC-nya < 0 maka pasar terisolasi dari pasar acuan,
artinya harga di pasar acuan tidak memiliki pengaruh dalam pembentukan harga di
pasar lokal.
Untuk melihat besaran pengaruh harga pasar
acuan pada waktu sebelumnya (Rt-1) terhadap pasar lokal (Pt), dilihat
melalui nilai koefisien .
Nilai
Koefisien menunjukkan besarnya persentase perubahan
harga di pasar lokal akibat perubahan harga di pasar acuan pada waktu
sebelumnya. Artinya jika harga bulan
lalu di pasar acuan berubah sebesar I persen maka harga di pasar lokal pada
saat sekarang akan berubah sebesar persen.
Integrasi pasar jangka panjang dapat
dilihat dari besarnya nilai koefisien
dari persamaan regresi model integrasi pasar. Nilai koefisien menunjukkan elastisitas trasnsmisi, yaitu
besarnya persentase perubahan harga di pasar lokal akibat perubahan harga di
pasar acuan. Jika harga di pasar acuan berubah sebesar 1 persen maka harga di
pasar lokal akan berubah sebesar
persen. Suatu pasar dikatakan terintegrasi dalam jangka panjang dengan
pasar acuan jika nilai koefisien -nya
mendekati nilai 1. Sedangkan jika nilai koefisien < 0, maka pasar dikatanakn terisolasi
atau harga di paar lokal bergerak secara mandiri (independent).
1.1.NTB
Koefisien
dan pada semua pengujian
integrasi pasar NTB dengan provinsi lainnya berpengaruh nyata pada yang
ditunjukkan dari nilai thitung yang lebih besar dari ttabel
pada taraf nyata 0,01. Terdapat 3 uji parsial
terhadap koefisien yang tidak berpengaruh nyata pada a= 0,05, yaitu pada pengujian integrasi pasar dengan Sumatera
Selatan, Lampung, dan Kalimantan Selatan. Hal ini berarti harga pada paeriode
sebelumnya di provinsi-provinsi tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap
pembentukan harga NTB.
Nilai Fhitung yang lebih besar dari nilai FTabel pada menunjukkan variable dependen secara
simultan berpengaruh terhadap variable independen. Hasil uji autokorelasi
terhadap D-h yang lebih kecil dari ttabel, dan nilai menunjukkan bahwa tidak terdapat
autokorelasi dalam model, sehingga model dapat digunakan untuk analisis
selanjutnya.
1.2.1. Integrasi Pasar Jangka Pendek
Nilai
IMC pada pengujian integrasi pasar NTB dengan pasar lainnya memperlihatkan NTB
terintegrasi dalam jangka pendek dengan pasar lainnya dan tidak terintegrasi
dengan Sumatera Selatan, Lampung dan Kalimantan Selatan. Derajat integrasi
paling baik terdapat pada hubungan NTB dengan Jawa Timur dengan nilai IMC 1,01.
Sebagai provinsi self-sufficient,
provinsi NTB masih mendatangkan beras dai Jawa Timur untuk mengisi cadangan
berasnya. Hubungan perdangan ini menyebabkan kondisi pasar NTB akan secara
langsung dipengaruhi oleh kondisi di Jawa Timur melalui perubahan arus baran
dan perdangan.
Pasar NTB
tidak terintegrasi dalam jangka pendek dengan provinsi Sumatera Selatan,
Lampung dan Kalimantan Selatan karena NTB tidak melakukan perdagangan dengan
provinsi-provinsi tersebut. Kondisi ini dapat terjadi karena provinsi –provinsi
tersebut terpisah dengan jarak yang relative jauh dengan NTB, sehingga
perdanagan dengan provinsi-provinsi tersebut menjadi tidak menguntungkan.
Tabel 27. Hasil Pendugaaan Regresi Model Keterpaduan
Pasar NTB dengan Pasar Provinsi Lainnya.
*Berpengaruh nyata pada taraf 5 persen
**Tidak perpengaruh nyata pada taraf 5 persen
Provinsi
yang tidak terintegrasi dengan NTB sebagai pasar acuan adalah Aceh, Sumatera
Utara, dan Kalimantan Selatan, karena pada pasar-pasar tersebut tidak terdapat
hubungan perdagangan. Pasar yang memiliki derajat integrasi jangka pendek yang
tertinggi adalah Jawa Timur. Hal ini terjadi karena NTB terutama memasok beras
dari Jawa Timur. Kondisi pasar di NTB akan menentukan arus barang dari Jawa
Timur ke NTB, sehingga harganya dipengaruhi oleh kondisi pasar NTB.
1.2.2 Integrasi
Pasar Jangka Panjang
Nilai koefisien yang disajikan pada Tabel 27
memperlihatkan bahwa pasar beras NTB terintegrasi dengan semua provinsi yang
diuji. Perubahan harga yang mempengaruhi harga di NTB adalah perubahan harga di
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, dan Sulawesi Selatan,
sehingga dapat dikatakan NTB terintegrasi kuat dengan pasar-pasar tersebut
dalam jangka panjang.
Meskipun relative self-sufficient,
NTB masih mendatangkan beras terutama dari Jawa Timur untuk mengisi
cadanagnnya. Hubungan perdagangan ini menyebabkan parubahan harga di Jawa Timur
akan menentukan arus barang dan perdagangan yang terjadi antara keduanya. Perubahan
arus barang ini menyebabkan perubahan harga di Jawa Timur akan menentukan
kondisi supply dan demand
beras di NTB dan menyebabkan harga di NTB ikut berubah.
Pasar NTB terintegrasi kuat dengan Jakarga dan Sumatera
Utara meskipun tidak terdapat perdagangan, hal ini terjadi kedua provinsi
tersebut bertindak sebagai acuan dalam pembentukan harga di provinsi-provinsi
lainnya. Pasar NTB terintegrasi dengan pasar lainnya, meskipun tidak terhubung
perdaganan menunjukkan bahwa integrasi yang terjadi dengan pasar-pasar tersebut
merupakan integrasi yang diinginkan (planned)
akibat reaksi pelaku perdagangan terhadap informasi pasar lainnya. Derajat
integrasi ini menunjukkan bahwa pelaku perdagangan di NTB dapat mengakses
infomasi mengenai pasar lainnya dengan mudah. Aksesibilitas infomasi yang baik
menyebabkan pelaku perdagangan mengetahui kondisi pasar lain dan menyesuaikan
harganya terhadap perubahan yang terjadi di pasar lainnya.
Tabel
28. Hasil Pendugaan Regresi Model Keterpaduan Pasar NTB terhadap Pasar Provinsi
Lainnya.
*berpengaruh nyata pada taraf 5 persen
**tidak berpengaruh nyata pada taraf 5
persen
Integrasi
pasar juga dapat menunjukkan bahwa pasar beras NTB merupakan pasar yang
bersaing. Hal ini ditunjukkan dari integrasi pasar NTB dengan seluruh provinsi
yang diuji dalam jangka panjan. Pada pasar yang bersaing, di mana pelaku pasar
merupakan penerima harga, harga akan menjadi informasi manfaat (benefit sign) bagi pelaku pasar. Kondisi
ini menyebabkan perubahan harga di pasar lainnya akan mempengaruhi perilaku
pasar, sehingga pasar akan terintegrasi dengan pasar lainnya.
Sebagai
pasar acuan, kecuali Jakarta, perubahan harga di NTB berpengaruh terhadap
perubahan harga di provinsi lain yang diuji. Pasar yang terintegrasi kuat dengn
NTB adalah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Perubahan harga di NTB
berpengaruh kepada perubahan harga di Jawa Timur dan NTB karena kedua pasar
tersebut terhubung perdagangan, sehingga perubahan harga di NTB akan
berpengaruh di pasar-pasar tersebut. Pasar yang tidak terintegrasi denga NTB
adalah pasar Jakarta, karena Jakarta berperan sebagai pasar acuan, sehingga
perubahan harga di NTB tidak berpengaruh terhadap perubahan harga di Jakarta.
2.
Integrasi Pasar Vertikal
Nilai thitung
menunjukkan bahwa koefisien
berpengaruh nyata pada sumua pengujian analisis integrasi pasar produsen dengan
konsumen, kecuali di Jawa Timur nyata pada a= 0,05. Hasil uji thitung terhadap koefisien menunjukkan terdapat 4
pengujian yang tidak berpengaruh nyata pada Nilai Fhitung
yang lebih besar dari Ftabel menunjukkan
di semua provinsi yang diuji, secara simultan variabel dependen berpengaruh terdapat variabel
independen pada
Hasil uji parsial pada model pendugaan
integrasi pasar consumen dengan pasar produsen menunjukkan bahawa koefisien
berpengaruh nyata pada kecuali nilai koefisien B3 di
provinsi Jawa Timur nyata pada a= 0,05. Hasil
uji terhadap nilai thitung pada koefisien menunjukkan terdapat 3 pengujian
yang tidak berpengaruh nyata pada Secara simultan variabel dependen berpengaruh
terhadap variabel independen, yang ditunjukkan dari nilai Fhitung
yang lebih besar dari Fhitung pada Hasil uji autokorelasi terhadap nilai D-h yang
lebih kecil dari ttable (t(93, 0,01) = 2,326) menunjukkan bahwa tidak terdapat
autokorelasi baik pengujian integrasi pasar produsen dengan konsumen, maupun
model integrasi pasar konsumen dengan produsen.
2.1 Integrasi
Pasar Jangka Pendek
Hasil pendugaan keterpaduan pasar yang
disajikan pada Tabel 35, memperlihatkan bahwa pasar produsen secara umum
terintegrasi lemah dengan pasar konsumen dalam jangka pendek, kecuali di
provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Artinya
pada pasar-pasar tersebut harga di pasar konsumen tidak berpengaruh terhadap
pembentukan harga di tingkat produsen. Menurun Farianti (2000) kondisi ini
mencerminkan bahwa harga di tingkat produsen lebih ditentukan oleh faktor lokal
pada pasar produsen.
Selanjutnya pas pendugaan keterpaduan
pasar konsumen dengan pasar produsen terdapat 4 provinsi yang pasarnya tidak
terintegrasi dalam jangka pendek dengan pasar produsen, yaitu : Jawa Tengah,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa
harga yang terbentuk di tingkat konsumen di provinsi-provinsi tersebut tidak
dipengaruhi oleh harga di tingkat produsen pada periode sebelumnya. Kondisi ini
dapat terjadi karena kemampuan panguasaan pasar yang dapat menentukan harga,
atau kemampuan pemasaran terutama penyimpanan (storage ability). Kemampuan penyimpanan menyebabkan pelaku pasar di
tingkat ritel dapat membeli beras pada harga rendah dan menyimpannya untuk
dijual pada waktu selanjutnya, sehingga harga di pasar ritel tidak terpengaruh
dengan harga di tingkat produsen.
2.2 Integrasi
Pasar Jangka Panjang
Nilai
koefisien pada Tabel 35 memperlihatkan pasar produsen terintegrasi lemah dengan
pasar konsumen di semua provinsi yang diuji, kecuali di Jawa Timur. Integrasi
pasar produsen dan konsumen yang tinggi terdapat di provinsi NTB, dengan nilai
sebesar 0,85. Artinya jika harga di tingkat ritel meningkat sebesar 1 persen
akan menyebabkan harga di tingkat produsen di provinsi NTB akan turut meningkat
sebesar 0,85 persen.
Tabel 35. Hasil
Pendugaan Regresi Model Keterpaduan Pasar Produsen dengan Pasar Konsumen
*berpengaruh
nyata pada taraf 5 persen
**tidak
berpengaruh nyata pada taraf 5 persen
Pasar produsen di provinsi Jawa Timur
tidak terintegrasi dengan pasar konsumen dalam jangka panjang. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan harga di tingkat konsumen tidak berpengaruh
terhadap harga di tingkat produsen. Kondisi ini diduga terjadi akibat kemampuan
penguasaan pasar di tingkat ritel atau kemampuan pemasaran di tingkat ritel
yang dapat menentukan harga di tingkat petani. Menurut Farianti, dkk, (2000)
keterpisahan pasar produsen dan konsumen dapat terjadi karena akses informasi
yang buruk ataupun kekuatan tawar petani yang lemah, shingga harga di tingkat
produsen tidak terpengaruh dengan harga di tingkat konsumen.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan
·
Secara umum
dapat dikatakan bahwa pasar tingkat provinsi di Indonesia saling terintegrasi
dengan provinsi-provinsi lainnya, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
Hal ini menunjukkan bahwa semua provinsi di Indonesia terhubung ke dalam satu
system perdagangan yang terpadu, sehingga kondisi keseimbang di suatu pasar
akan saling mempengaruhi keseimbangan di pasar lainny. Integrasi yang bai dapat
dijadikan indicator bahwa kenerja pemasaran komuditi beras domestic secara
keseluruhan bekerja secara efisien.
·
Pasar Jakarta
terintegrasi dalam jangka pendek dengan paar-pasar yang diuji, kecuali dengan
sumatera selatan. Sebai pasar acuan, semua pasar yang diuji terintegrasi dengan
Jakarta dalam jangka pendek. Pasar Jakarta tidak terintegrasi dengan smua
provinsi lainnya yang diuji dalam jangka panjang. Pasar yang terintegrasi baik
dengan Jakarta dalam jangka panjang adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta,
Jwa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan dengan nilai
elastisitas transmisi masing-masing sebesar 0,71; 0,88; 0,83; 0,72; 0,75; 0,80;
dan 0,79.
·
Dari hasil
analisa terhadap hubungan integrasi pasar dengan hubungan perdanagan dan arus
barang menunjukkan bahwa integrasi pasar antara dua pasar dapat tterjadi
meskipun keduanya tidak terhubung perdangan secara langsung. Hal ini mendukung
penelitian Ismet dan Llellyn (2001), yang menyatakan bahwa dua pasar dapt
terintegrasi karena faktor lain bukan perdagangan, mislnya arus informasi yang
baik atau dapat pula terjadi karena kedua pasar tersebut terhubung dalam satu
system perdagangan yang sama.
2.
Saran
·
Sebagai provinsi
yang dijadikan acuan terhadap pembentukan harga di pasar-pasar lainny,
perubahan harga di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Utara akan
ditrasformasikan secara selaras pada provinsi-provinsi lainny. Oleh kerena itu
pemerintah perlu menjaga stabilitas harga di provinsi-provinsi tersebut.
Apabila terjadi gejolak harga beras di provinsi-provinsi tersebut tidak meluas
menjadi gejolak harga dalam skala lebih luas.
·
Dengan
mengetahui integrasi pasar, arah, dan besaran trasnmisi harga, pemerintah dapat
meredakan gejolak harga dengan melakukan aksi secara inteensi pada pasar yang
menjadi acuan pasar-pasar lainny, tanpa harus melakukan aksi di setiap pasar
yang bergejolak.
DAFTAR PUSTAKA
AMANG, Beddu dan M. Husein Sawit. 1999. Kebijakan
Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran Orde Baru dan Orde Reformasi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Azir, Ricky. 2002. Kajian Sistem Pemasaran dan
Integrasi Pasar Cabai Merah Keriting di DKI Jakarta [skripsi]. Institut
Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian. Bogor.
Barret, Christoper B. dan Jau Rong Li. 2002. Distinguishing Between Equilibrium and
Integration in Spatial Analysis. Di dalam Berck, Peter dkk., editor.
American Journal of Agricultural Economics Vol.84 No.2.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2001. Produksi Padi,
Konsumsi, Impor, dan Ekspor Beras Indonesia. BPS. Jakarta.
Dan lain-lain…..
ni hasil copy an k blog lain ya??
BalasHapus